1. Kondisi Alam Indonesia
Konon pada zaman es, wilayah kita terbagi menjadi dua bagian. Wilayah barat
yang disebut Paparan Sunda menjadi satu dengan Asia Tenggara
kontinental. Paparan ini meliputi Jawa, Kalimantan, serta Sumatra dan menjadi
satu dengan daratan Asia Tenggara, sehingga merupakan wilayah yang luas.
Wilayah timur yang disebut Paparan Sahul menjadi satu dengan Benua
Australia. Wilayah yang terletak di antara Paparan Sunda dan Sahul itu meliputi
Kepulauan Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Kawasan ini kelak, oleh Wallacea
disebut penyaring bagi fauna (bahkan manusia) di kedua daratan. Karenanya, tipe
fauna di kedua daratan cenderung berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan
dukungan iklim serta suhu yang baik, evolusi tumbuhan dan hewan (termasuk
Primates) bisa berlangsung.
Pada masa itu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok kecil di berbagai
daerah dengan mobilitas yang cukup tinggi. Jalur Indonesia-kontinen Asia bisa
mereka tempuh melalui rute darat, begitu pula dengan Indonesia-Australia.
Peralatan batu yang ditemukan di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara serta di
Filipina, mungkin bisa digunakan untuk merunut kehidupan Pithecanthropus
yang tinggal di kawasan ini. Kemudahan komunikasi itu memungkinkan mereka untuk
mengadakan migrasi ke dalam dua arah yang berlawanan.
Perubahan mulai terjadi pada daratan dan kehidupan manusia, saat es
mulai mencair. Karena air laut menjadi lebih tinggi dan menutupi bagian-bagian
rendah dari kedua paparan, maka membentuk pulau-pulau baru yang saling
terpisah. Dampaknya adalah kelompok-kelompok manusia itu menjadi tercerai-berai
dan hidup di dalam pulau-pulau yang saling berlainan.
Fenomena alam itu tidak hanya sekali terjadi,
sehingga memungkinkan faktor-faktor evolusi seperti seleksi alam, arus gen, dan
efek perintis untuk bekerja. Hasilnya adalah populasi baru yang mungkin sekali
berbeda dengan induknya. Mungkin karena faktor hibridisasi yaitu pembauran gen
atau perjodohan antara dua golongan makhluk hidup. Mungkin pula
karena pigminasi yaitu proses pengerdilan individu sebagai akibat adanya
seleksi alam dan terbatasnya bahan makanan untuk populasi yang semakin
bertambah. Proses inilah yang antara lain mengakibatkan mengapa manusia purba
yang ditmukan di kawasan Sangiran berbeda dengan yang ditemukan di Flores pada
tahun 2004.
Nah, dengan latar belakang sejarah seperti itulah muncul kehidupan manusia
di bumi Indonesia. Lalu, seperti apa jenis manusia purba yang ada di Indonesia
dan sampai pada tahap apakah kebudayaan mereka? Pembelajaran berikut ini akan
memandumu dalam mengidentifikasi dan mendeskripsikan perkembangan manusia purba
di Indonesia.
2. Jenis Manusia Purba di
Indonesia
Seperti telah kamu
ketahui, bahwa manusia purba itu mempunyai bentuk dan sifat yang berbeda bila
di-bandingkan dengan manusia zaman sekarang. Tengkorak manusia purba cenderung
lebih kecil namun memanjang, rahangnya tebal namun tidak berdagu serta tidak
mempunyai dahi. Perbandingan semacam ini bisa kita peroleh setelah kita
menganalisis serangkaian penemuan fosil, baik yang berupa tengkorak maupun
tulang-tulang anggota badan lainnya.
Begitu pula saat kita nanti mendeskripsikan hasil-hasil budayanya.
Data-data tentang hasil budayanya itu bisa kita peroleh setelah kita
menganalisis fosil yang berwujud beragam bentuk peralatan yang diduga pernah
mereka gunakan. Lalu, untuk menentukan usia fosil itu kita harus menganalisis
lapisan bumi di ' mana fosil itu ditemukan, tentu dengan bantuan ilmu Geologi.
Dengan cara inilah, kita sekarang bisa mengklasifikasi jenis dan budaya manusia
purba di Indonesia.
Penemuan manusia purba di Indonesia terjadi pada akhir abad XIX. Bermula
dari dugaan Eugene Dubois bahwa manusia purba, monyet, dan kera itu biasanya
hidup di daerah tropis, karena iklimnya tidak banyak mengalami perubahan. Ada
tiga dasar teori yang digunakan Dubois sebagai acuan. Teori pertama, bahwa
pencarian missink link dalam evolusi manusia berasal dari daerah tropik.
Alasannya, berkurangnya rambut pada tubuh manusia purba hanya bisa terjadi pada
daerah tropika yang hangat. Teori kedua, Dubois mencatat bahwa dalam dunia
binatang, umumnya mereka tinggal di daerah geografis yang sama dengan asal
nenek moyangnya. Dari segi biologi, hewan yang paling mirip dengan manusia
adalah kera besar. Oleh karena itu, Dubois menduga bahwa nenek moyang kera
besar mempunyai hubungan kekerabatan (kinship) dengan manusia. Teori ketiga,
Dubois percaya bahwa Asia Tenggara merupakan asal usul manusia. Alasannya, di sana ada
orang utan dan siamang.
Penelitian pun dilakukan oleh
sejumlah peneliti luar negeri di berbagai tempat. Secara umum penelitian itu
terbagi menjadi tiga tahap yaitu periode 1889-1909, periode 1931-1941, serta
periode 1952 sampai sekarang. Dunia ilmu pengetahuan (terutama
Palaeoantropologi dan ilmu Hayat) menjadi gempar saat tahun 1889 Dubois
berhasil menemukan sejumlah fosil atap tengkorak di Wajak, Tulungagung, Kediri,
yang kemudian diikuti dengan penemuan-penemuan lain di Kedungbrubus dan Trinil.
Fosil itu disebut dengan Pithecanthropus erectus.
Namun sayangnya, sebagian besar fosil tersebut
kini tersimpan di Leiden, Belanda. Fosil lain berhasil ditemukan oleh ter Haar,
Oppenoorth, dan von Koenigswald di Ngandong, Blora, antara tahun 1931-1933,
berupa tengkorak dan tulang kering yang disebut Pithecanthropus soloensis.
Pada tahun 1936-1941, von Koenigswald kembali berhasil menemukan fosil rahang
dan gigi yang bemkuran besar serta tengkorak manusia purba di Sangiran, yang
kemudian disebut Meganthropuspalaeojavanicus. Selanjutnya, penelitian
pascakemerdeka-an banyak melibatkan ahli-ahli Indonesia, terutama di kawasan
Sangiran. Berikut ini adalah jenis manusia purba di Indonesia.
a. Meganthropus atau Manusia
Raksasa
Meganthropus berasal dari kata mega
yang berarti besar dan anthropus yang berarti manusia. Memang, apabila
fosil makhluk itu kamu amati, pasti kamu akan terperangah: besar rahang
bawahnya melebihi rahang gorila laki-laki. Fosilnya yang terdiri atas rahang
bawah, rahang atas,''serta gigi-gigi lepas ditemukan oleh von Koenigswald di
Pucangan tahun 1936-1941, dalam lapisan bumi pleistosen tua. Fosil ini kemudian
disebut Meganthropus Paleojavanicus atau manusia besar dari Jawa zaman
kuno.
Selanjutnya, rahang bawah yang lain ditemukan oleh
Marks di Kabuh tahun 1952. Namun, sejauh ini di kalangan ilmuwan nasih merasa
kesulitan untuk menempatkan Meganthropus di dalam evolusi manusia.
Apakah tergolong Pithecanthropus, Homo, atau Australopithecusl.
Pakar palaeoan-tropologi kita, Prof. Dr. Teuku Jacob, berpendapat bahwa Meganthropus
me-rupakan bentuk khusus (yang lebih besar) dari Pithecanthropus. Alasan
teorinya adalah ia berevolusi dengan cara adaptif, akibat pengaruh lingkung-an
alam'pada masa tertentu. Mungkin, seandainya rahang bawah itu ditemukan
bersama-sama dengan rahang atas dan tengkoraknya, misteri kehidupan Meganthropus
baru bisa terbuka.
b. Pithecanthropus atau Manusia Kera
Pithecanthropus berasal dari kata pithekos
yang berarti kera dan anthropus yang berarti manusia. Kebanyakan fosil
jenis inilah yang berhasil ditemukan di Indonesia. Mereka hidup pada zaman
pleistosen awal, tengah, dan akhir. Makhluk ini mempunyai ciri-ciri tinggi
badannya 165-180 cm, tubuh dan badannya tegap, gerahamnya masih besar,
rahangnya kuat, tonjolan kening tebal (melintang pada dahi dari pelipis ke
pelipis), tonjolan - belakang kepalanya nyata, belum berdagu, serta berhidung
lebar. Volume
otaknya berkisar antara 750 sampai 1.300 cc.
Makhluk jenis Pithecanthropus
juga ditemukan di kawasan yang lain. Di Cina Selatan ditemukan Pithecanthropus
lautianensis dan di Cina Utara disebut Pithecanthropus Pekinensis.
Mereka hidup 800.000 hingga 500.000 tahun yang lampau. Makhluk sejenis juga
ditemukan di Tanzania, Kenya, dan Aljazair di Afrika, serta di Eropa seperti di
Jerman Barat, Jerman Timur, Prancis, Yunani, dan Hongaria. Namun, kebanyakan
ditemukan di Indonesia. Ada beberapa jenis manusia purba yang tergolong ke
dalam Pithecanthropus, antara lain sebagai berikut.
1) Pithecanthropus Mojokertensis ( Manusia Kera
dari Mojokerto)
Jenis ini diduga merupakan manusia purba tertua
yang ada di Indonesia dan ditemukan tahun 1936 di Pucangan serta Mojokerto,
berupa tengkorak anak-anak berusia 6 tahun. Isi otaknya berkisar 650 cc. Fosil
ini ke-mudian disebut Pithecanthropus mojokertensis atau Pithecanthropus
robustus (robustus artinya besar). Dari hasil penelitian, bisa di-simpulkan bahwa makhluk
ini hidup pada 2,5 sampai 1,25 juta tahun yang lampau. Makhluk ini mempunyai
spesifikasi: berbadan tegap, tonjolan keningnya tebal, tulang pipinya kuat, dan
mu-kanya menonjol ke depan. Makhluk ini hidup bersama-an dengan Meganthropus, namun
sulit menghubung-kan evolusi keduanya.
2) Pithecanthropus
Erectus (Manusia Kera yang Berjalan Tegak)
Jenis ini merupakan generasi kedua manusia purba di
Indonesia. Yang fenomenal dari jenis ini adalah selain fosilnya ditemukan
paling awal, juga memiliki wilayah penyebaran yang cukup luas. Fosil jenis ini
terdiri atas atap tengkorak, tulang paha, serta beberapa fragmen tulang paha
yang ditemukan di Trinil tahun 1891. Fosil ini merupakan kepunyaan laki-laki
dengan isi otak kira-kira 900 cc. Dari penelitian terhadap tengkoraknya, Dubois
member! nama Pithecanthropus atau manusia kera dan dari tulang pahanya
ia member! nama erectus atau berjalan tegak. Tidak kurang dari 23 jenis
fosil berhasil ditemukan di berbagai daerah di kawasan Sangiran. Maka, tidak
aneh bila fakta dan cerita tentang kehidupan Pithecanthropus lebih
banyak kita peroleh dibandingkan dengan manusia purba dari jenis yang lain. Misalnya,
makhluk ini hidup sekitar sejuta hingga setengah juta tahun yang lalu,
mempunyai tinggi badan 160-180 cm dengan berat badan 80 sampai 100kg.
Yang membedakan Pithecanthropus
erectus dengan Pithecanthropus
Mojokertensis adalah besar isi tengkorak, tebal atap tengkorak,
bentuk tonjolan belakang kepala dan tonjolan kening, serta daerah telinga. Dari
fosi1 Pithecanthropus orectus yang berhasil ditemukan, kebanyakan berjenis
kelamin laki-laki. Diduga jenis perempuannya banyak yang meninggal saat
kehamilan dan persalinan.
3). Pithecanthropus Soloensis (Manusia Kera dari
Solo)
Nama Pithecanthropus
soloensis diberikan oleh ilmuwan kita Prof. Dr. Teuku Jacob setelah
meneliti 14 jenis fosi1 dari Desa Ngandong di Lembah Bengawan Solo sebelah
utara Trinil. Jenis ini merupakan generasi ketiga manusia purba di Indonesia.
Dari penemuan fosil yang ada di Sangiran dan Sambungmacan, makhluk ini
mempnnyai ciri khas: volume otak 1.000 sampai 1.300 cc, tengkoraknya lonjong,
tebal dan masif, tonjolan keningnya cukup nyata, dahinya lebih terisi, serta
tengkoraknya lebih tinggi dibanding kedua manusia terdahulu. Tanda-tanda yang lain
adalah akar hidungnya lebar dan rongga matanya sangat panjang, tinggi badannya
165 sampai 180 cm, serta tulang keringnya tegap. Dari identifikasi ini bisa
disimpulkan bahwa meskipun letak kepalanya di atas tulang belakang, namun belum
seperti letak kepala manusia saat ini.
Pithecanthropus soloensis yang hidup kira-kira 900.000
hingga 300.000 tahun yang lalu itu, secara evolutif lebih dekat dengan Pithecanthropus
Mojokertensis dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus.
Para ilmuwan menduga bahwa kedua makhluk itu
memang mem-punyai kaitan dalam hal evolusi. Yang membedakannya dengan kedua
manusia purba terdahulu adalah besarnya tengkorak, tonjolan kening, dan
tonjolan belakang kepala, daerah telinga dan daerah hidung. Hanya saja, volume
otaknya semakin bertambah, demikian pula otak kecilnya. Kamu tentu mengetahui
apa dampak yang muncul di balik berkembangnya volume otak ini. Dengan otak yang
semakin berkembang itu, Pithecanthropus Soloensis mulai menemukan dan
mempunyai cara hidup yang baru. Perubahan inilah yang menyebabkan berkembangnya
kebudayaan manusia-manusia purba di Indonesia. Oleh karena itu, ada beberapa
ahli yang mengelompokkan Pithecanthropus Soloensis ini ke dalam kelompok
Homo Neandertalensis. Bahkan, ada pula yang memasukkan-nya ke dalam
kelompok Homo Sapiens. Namun, sejauh ini para ilmuwan belum mencapai
kesepakatan.
4)
Homo ( Manusia)
Jenis Homo ini mulai
mendekati dengan bentuk manusia. Hidup pada zaman pleistosen muda. Sementara itu, dari
serangkaian fosi1 yang ditemukan diduga mereka hidup 200.000 tahun yang lalu.
Selain banyak jumlahnya dan ditemukan di berbagai tempat, fosilnya tidak hanya
berupa tengkorak melainkan juga berupa kerangka yang lengkap. Ada beberapa jenis
manusia purba dari kelompok Homo ini, antara lain sebagai berikut.
a). Homo Neandertalensis (Manusia dan Lembah Neander)
Fosil makhluk ini ditemukan
tahun 1856 di Lembah Sungai Neander dekat Kota Dusseldorf, Jerman. Fosil
sejenis juga ditemukan di Francis, Belgia, Jerman, Italia, Yugoslavia, serta
berbagai negara di Eropa. Di Palestina, fosil itu ditemukan di Gua Tabun dekat
Mount Carmel, sehingga disebut HomoPalestinensis. Semula, makhluk ini hanya
dianggap sebagai evolusi manusia yang kandas. Namun, setelah penemuan Homo
neandertalensis, para ilmuwan sepakat bahwa makhluk ini merupakan nenek
moyang salah satu ras manusia.
Yang cukup mengagumkan dari penemuan fosil-fosil
ini adalah ditemukan-nya beragam peralatan batu dan sisa-sisa kebudayaan lama
di dekat lokasi fosil. Hal itu menunjukkan, bahwa tingkat kehidupan mereka
sudah akrab dengan kebudayaan. Bahkan, di Eropa sering ditemukan bekas-bekas
api di sekitar penemuan fosil, yang diduga sebagai solusi atas dinginnya iklim
di daerah Glasial. Dari penelitian terhadap peralatan yang berhasil ditemukan
menunjukkan bahwa mereka sudah berburu. Peralatan batu selain digunakan untuk
senjata juga digunakan untuk memotong.
b). Homo Sapiens (Manusia Sekarang)
Generasi pertama dari manusia
sekarang mula-mula hidup pada lapisan pleistosen muda atau zaman glasial
terakhir (sekitar 80.000 tahun yang lampau). Mulai saat itu, tidak ditemukan
lagi makhluk-makhluk dari dua jenis terdahulu. Karena sejak zaman holosen, fosil
manusia yang berhasil ditemukan menunjukkan perbedaan empat ras pokok yang saat
itu ada di muka bumi. Keempatnya sebagai berikut.
(1) Ras Australoid yang kini
sisa-sisanya bisa kamu temukan di pedalaman Benua Australia. Fosil manusia dari
jenis ini ditemukan oleh Rietschoten tahun 1889 di Desa Wajak Kab. Tulungagung Jawa Timur,
di Lembah Sungai Brantas dalam lapisan pleistosen muda. Fosil ini berupa
tengkorak, fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Pada tahun
berikutnya ditemukan pula fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan bawah serta
tulang paha dan tulang kering. Dari hasil penelitian terhadap fosil itu
diperoleh beberapa kesimpulan. Tengkorak manusia ini tergolong besar dengan
volume otak 1.630 cc, mukanya datar dan lebar. Akar hidungnya lebar, dahinya
agak miring, di atas rongga mata ada busur kening yang nyata. Tinggi manusia
itu kira-kira 173 cm diteliti dari tulang pahanya. Manusia yang kerrtudian
disebut Homo Wajakensis itu diperkirakan hidup 40.000 tahun yang lampau,
tersebar di Paparan Sunda dan sebagian Indonesia Timur.
Prof. Dr. Teuku Jacob mengajukan sebuah teori,
bahwa di daerah Papua (Irian Jaya), telah berkembang suatu ras khusus dari ras
Wajak dan menjadi nenek moyang penduduk asli Australia sekarang. Salah satu
kemungkinan mengapa terjadi arus migrasi dari Irian ke Australia adalah, masih
utuhnya daratan di kedua bagian bumi itu. Laut saat itu belum terbentuk,
sehingga mobilitas manusia bisa merambah ke wilayah yang luas. Nah, dari
sinilah kita bisa merunut mengapa ras Wajak mampu menyebar hirigga ke Irian.
Bahkan, menurut Teuku Jacob, dari ras Wajak ini pulalah berkembang menjadi
penduduk Irian dan Melanesia.
(2) Ras Mongoloid adalah ras yang paling besar
jumlahnya dan luas wilayah penyebarannya, bahkan hingga saat ini. Fosil manusia
dari jenis ini ditemukan di Gua Chou-Kou-Tien (sebelah barat Beijing) Tiongkok
antara tahun 1927 dan 1937. Fosil yang berhasil ditemukan itu membuktikan bahwa
manusia ini memiliki kemiripan dengan Pithecanthropus yang ada di
Indonesia. Fosil ini kemudian diberi nama Pithecanthropus pekinensis.
Dari hasil penelitian terhadap fosilnya, diperoleh data bahwa ternyata
tengkoraknya lebih besar bila dibandingkan dengan Pithecanthropus Erectus,
dengan volume otak kira-kira 900 hingga 1.000 cc. Berarti volume otaknya telah
mendekati volume otak manusia sekarang. Apalagi di sekitar penemuan fosilnya
ditemukan serangkaian peralatan yang menunjukkannya telah memiliki kebudayaan.
Bermula dari manusia inilah, kemudian berkembang menjadi beragam ras Mongoloid
di Asia Timur, Asia Tenggara, Asia Tengah, Asia Utara, Asia Timur Laut, bahkan
hingga Benua Amerika Utara dan Selatan. Mereka diperkirakan hidup antara 40.000
hingga 30.000 tahun yang lampau. Kamu kini tentu bisa merunut, bangsa-bangsa
mana sajakah yang nenek moyangnya berasal dari Pithecanthropus Pekinensis
ini.
(3) Ras Kaukasoid yang menjadi cikal bakal
bangsa-bangsa di Eropa, Afrika bagian utara Gurun Sahara, Asia Barat Daya,
Australia serta Benua Amerika Utara dan Selatan. Fosil manusia yang berhasil
ditemukan di Desa Les Eyzies, Dordogne di Prancis, diperkirakan berasal dari
60.000 tahun yang lampau. Fosil manusia yang menjadi nenek moyang penduduk
Eropa sekarang itu kemudian disebut Homo Sapiens Cromagnonensis. Fosil
yang ditemukan itu mempunyai bentuk yang indah, tinggi, dan besar, mukanya
selaras dengan bentuk dahinya. Sisa-sisa manusia ini bisa dijumpai pada bangsa
Kabyl di Afrika Utara.
(4) Homo Sapiens yang mula-mula menunjukkan
ciri-ciri ras Negroid, ditemukan di Asselar sebelah timur laut Timbuktu
(di tengah-tengah Gurun Sahara). Fosil manusia ini oleh para ahli
palaeoantropologi diberi nama Homo
Sapiens Asselar, diperkirakan hidup 14.000 tahun yang lampau.
Ras
Negroid ini dianggap oleh para peneliti manusia purba sebagai ras
manusia yang paling muda
Dari
keempat jenis nenek moyang ras itulah, manusia berevolusi dan berkembang biak
menjadi besar serta beragam sifatnya. Masing-masing ras mempunyai spesifikasi
dan membentuk satuan sosial sendiri-sendiri.
manusia berasal dari apa?
BalasHapusdebu dan tanah
Hapuswah, makasih bro. bermanfaat banget. (y)
BalasHapus